Oleh: Dedy
Apa yang menyebabkan kemiskinan? Apakah miskin dan kaya itu takdir? Apakah rakyat bisa keluar dari kemiskinan?
Apa yang menyebabkan kemiskinan? Apakah miskin dan kaya itu takdir? Apakah rakyat bisa keluar dari kemiskinan?
Banyak ahli dan pemikir sudah mencoba menjawab pertanyaan di atas, banyak teori yang lahir untuk mencari akar kemiskinan dan bagaimana jalan keluarnya. Namun seiring waktu, teori hanya berhenti pada tataran teoritis semata dan tidak pernah bisa menyentuh serta menjawab akar persoalan aktual kemiskinan secara praktis. Banyak juga teori yang tidak hanya lekang oleh teori baru tapi juga tenggelam oleh waktu.
Persoalan kemiskinan adalah persoalan struktural, analisa mengenai kemiskinan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari analisa terhadap sistem ekonomi politik di suatu negara. Secara umum, ada dua watak sistem ekonomi dalam suatu negara, yang pertama adalah sistem ekonomi pasar bebas (kapitalisme/neoliberalisme) yang agressif dan destruktif. Yang kedua adalah sistem ekonomi yang berorientasi kerakyatan (pemerataan).
Di dalam sistem ekonomi yang pro pasar, hampir seluruh kebijakan politik selalu mengabdi kepada modal (kartel, trust, korporasi multi-nasional dan pemodal lokal), sementara sistem ekonomi kerakyatan setiap kebijakan politik selalu mengakomodir kepentingan rakyat. Pertanyaannya adalah model ekonomi seperti apa yang yang dewasa ini di anut oleh Indonesia. Jika kita berkaca dari berbagai kebijakan yang di keluarkan pemerintah, maka secara gamblang menunjukkan bahwa kita masih terkungkung dari sistem ekonomi yang kapitalistik. Kebijakan menaikkan harga BBM misalnya, yang menyebabkan hampir seluruh sendi perekomomian rakyat terimbas, seperti mahalnya harga kebutuhan pokok, kolapsnya industri-industri rakyat yang berskala kecil dan menengah akibat tidak mampu menanggung biaya produksi yang tinggi, sementara disisi lain, industri-industri besar yang mempunyai modal kuat yang didominasi oleh hampir 70% investor asing tidak mengalami dan merasakan dampak dari kenaikan harga BBM ini.
Kemudian kebijakan untuk melakukan privatisasi (swastanisasi) BUMN. Kebijakan untuk menjual kepemilikan saham Badan Usaha Milik Negara kepada swasta bukan saja mengancam layanan publik yang berkualitas tetapi juga hilangnya kedaulatan ekonomi suatu negara. Ketika BUMN dimiliki oleh modal swasta, tentu saja orientasinya adalah laba yang besar dengan mengesampingkan hajat kebutuhan publik. Karena logika dari sistem ekonomi kapitalisme adalah ”dengan modal sekecil-kecilnya dan untung sebesar-besarnya”. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, seorang pemodal swasta tidak segan-segan memangkas biaya produksi melalui PHK massal, pemotongan gaji buruh, dll dengan dalih efisiesi perusahaan. Sementara laba yang di dapat dari BUMN sepenuhnya akan mengalir ke kantong-kantong pengusaha atau pemilik saham, dan negara hanya mendapat penghasilan hanya dari pajak semata.
Kebijakan lain yang tidak memihak rakyat juga dapat dilihat dari kebijakan di sektor pendidikan. liberalisasi pendidikan melalui pemberlakuan UU-BHP adalah contohnya. Dengan di berlakukan UU-BHP, tanggung-jawab penyelenggaraan pendidikan bagi rakyat diserahkan sepenuhya kepada pihak swasta, pemerintah hanya bertanggung jawab terhadap penyediaan infrastruktur saja. Padahal seperti kita tahu, bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk rakyat adalah sepenuhnya tanggung jawab negara. Negara harus menjamin seluruh rakyat untuk memperoleh haknya akan pendidikan. Swastanisasi sektor pendidikan ini tentu saja akan berdampak terhadap mahalnya biaya pendidikan, karena dengan diserahkan sektor pendidikan untuk dikelola oleh swasta maka orientasi pendidikan untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul akan digantikan dengan semangat untuk mendulang untung yang sebanyak-banyaknya.
Mahalnya biaya pendidikan akan menciptakan keterbatasan akses rakyat terhadap sektor pendidikan sehingga hal ini berkorelasi terhadap berkesinambungannya kemiskinan massif di negara ini. Karena bagaimanapun, kemiskinan bukanlah takdir yang tidak bisa dirubah, kemiskinan adalah persoalan struktural yang notabene adalah akibat ulah manusia. Kemiskinan tidak bisa hanya dilihat dari faktor individual semata. Kemiskinan lebih sebagai dampak dari kebijakan negara yang yang tidak pernah memihak rakyat.
Oleh karena itu saya berkesimpulan bahwa, akar segala persoalan kemiskinan tidak bisa dilihat dari hilir, artinya kita tidak bisa mengklaim kemiskinan sebagai sebuah takdir yang tidak bisa dirubah, dan kemiskinan juga tidak bisa dilihat sebagai sebuah kesalahan individual. Banyak kalangan yang menilai bahwa kemiskinan adalah faktor individual seperti malas, bodoh dan sebagainya. Padahal kalau kita kritisi budaya malas serta penyakit bodoh, dsb yang ada di tiap individu sebenarnya hanyalah faktor sekunder, sementara faktor primernya adalah dari tatanan sosial ekonomi dan politik yang timpang. Sehingga berdampak terhadap perilaku rakyat secara keseluruhan. Artinya, perilaku budaya hanyalah dampak turunan dari sistem ekonomi politik di suatu negara. Secara teoritis, “ekonomi adalah basis (infrasruktur) sementara budaya, adat istiadat, serta tingkah laku adalah suprastuktur”, dalam kata lain, ekonomi adalah basis yang mempengaruhi segala tingkah laku serta budaya di dalam suatu masyarakat.
Untuk menanggulangi kemiskinan dibutuhkan kemauan politik (political will) dari pemerintah, dibutuhkan sebuah pemerintahan yang berwatak kerakyatan yang mampu memproteksi rakyat dari kebuasan pasar sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis rakyat. Jika tidak, maka tunggulah kekuatan rakyat akan berbicara.
***
0 komentar:
Posting Komentar