Refleksi 3 Tahun Pemerintahan Irwandi - Nazar

Selasa, 29 Desember 2009

Oleh Dedy

Tahun 2009 segera berlalu, dan Tahun baru 2010 menjelang. Melihat realitas hari ini dari kacamata kita sebagai rakyat, tidak ada perubahan substantive yang dibuat oleh Pemerintahan Aceh- dalam hal ini Irwandi-Nazar, utamanya dalam menanggulangi kemiskinan dan pengangguran. Belum lagi jika kita berkaca dari mindset pemerintah sendiri dalam melakukan pembangunan melalui berbagai program monumentalnya seperti pembukaan Pelabuhan Bebas Sabang, proyek Reintegrasi, KPN (Kredit Peumakmu Nanggroe), Moratorium Logging, pemberantasan korupsi, mengundang investasi asing dan lain-lain. Semuanya bisa dikatakan gagal. 

Praktis tiga Tahun mereka berkuasa belum ada satupun dari program yang mereka canangkan bisa dilihat hasilnya. Pertanyaannya adalah, kenapa ini terjadi? Padahal seharusnya, semangat rakyat Aceh memilih pasangan Independent ini yakni sebagai antitesa dari pemerintahan sebelumnya yang gagal harus dijawab dengan keberhasilan dengan kebijakan-kebijakan yang langsung bisa dirasakan oleh rakyat Aceh. Rakyat Aceh sudah terlalu lama hidup melarat dengan berbagai kontradiksi yang puluhan tahun mendera. Mulai dari konflik politik yang menelan ribuan nyawa serta matinya perekonomian rakyat, kemudian diperparah lagi dengan bencana alam maha dahsyat; gempa dan Tsunami. 

Berpijak dari kondisi ini seharusnya pemerintahan baru yang langsung dipilih rakyat ini seharusnya mempunyai beban moral yang begitu besar sebagai pelecut untuk menjawab berbagai persoalan kerakyatan. Maka ironis ketika tahun-tahun yang lalu pemerintahan Aceh terpaksa mengembalikan dana milyaran Rupiah ke Pusat, untuk Tahun ini kemungkinan juga begitu. sementara hari ini kualitas pendidikan buruk, akses kesehatan yang tertutup bagi rakyat miskin, ribuan orang belum mempunyai rumah akibat bencana Tsunami (padahal bencana alam ini sudah berlalu lima tahun yang lalu), harga kebutuhan pokok yang kian hari kian meningkat, biaya pendidikan yang semakin mahal dan lain-lain. 

Padahal jika melihat syarat-syarat materil maupun subjektif yang dimiliki Aceh hari ini, tidak ada alasan yang bisa diterima akal sehat untuk membenarkan kegagalan ini. Dulu pemerintah yang berkuasa bisa berdalih bahwa pembangunan Aceh terhambat akibat konflik politik dan bencana Alam, tapi sekarang konflik telah berakhir. Dulu dana APBA selalu deficit tapi sekarang dana APBA begitu melimpah-ruah sebagai konsekwensi dari bagi hasil 70;30 antara Aceh dan Pusat. Belum lagi dana yang langsung disuntikkan dari pusat kepada Aceh. Dahulu yang duduk sebagai Gubernur Aceh adalah orang yang ditunjuk langsung oleh pusat yang bisa jadi mewakili kepentingan Jakarta tapi kini pemerintahan Aceh dipilih langsung oleh rakyat dan seharusnya ini menjadi suntikan moral untuk menjadi pemerintahan yang amanah untuk kepentingan rakyat. Namun nyatanya rakyat Aceh masih berkalang duka dan airmata menatap 2010 dan tiga tahun Pemerintahan IRNA. Ironis!

Dalam dua tahun kedepan kita akan melihat apakah ada itikad baik dari penguasa daerah ini untuk memperbaiki kinerjanya. Atau akan tetap menjadi pemerintahan yang gagah dalam retorika politik namun ompong dalam hal implementasi. Apalagi kursi-kursi di Parlemen Aceh (DPRA) hari ini mayoritas diisi oleh Partai Aceh yang notabene adalah partai yang menjadi background pemerintahan. Ini bisa menjadi resource yang besar yang dimiliki oleh pemerintahan Aceh untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. Jika tidak sepertinya kita dengan terpaksa meminta Tgk. Agam dan Bang Nazar untuk menanggalkan kupyah meukutop-nya dihadapan rakyat.

0 komentar:

Posting Komentar