Kumur Kumur Pagi

Kamis, 13 Oktober 2011

Oleh Dedy

“Kesempurnaan sejati adalah ketika kau telah sampai pada satu titik kesimpulan, bahwa hidup ini adalah proses belajar”
(Dedy)


“Ini tentang masa depanku, masa depanmu dan masa depan rakyat yang dimiskinkan”
(status facebook Alkhozi Syah)



Apa yang menarik dari dua kali pertemuan dalam rangka Pelatihan Motivasi Sosial Intelektual yang diprakarsai oleh NGO lokal dan nasional yang saya ikuti. Jika pertanyaan di atas saya jawab, maka jawaban yang muncul adalah sebuah jawaban tragis: tidak ada hal yang menarik atau baru sekalipun untuk saya. Ini sama saja dengan bacaan-bacaan yang sering saya dapatkan dari buku-buku training motivasi pada umumnya. Atau acara-acara talkshow yang diisi para motivator ulung di banyak stasiun televisi nasional sekarang ini. Yang dijual hanyalah mimpi-mimpi kosong bahwa kita bisa melewati dan mengatasi berbagai problem hidup kita, bahwa kita bisa mencapai setiap cita-cita kita, yang dibutuhkan adalah kerja keras dan tetap focus pada apa yang kita impikan serta yakin pada diri sendiri kalau kita bisa.  Bullshit!!.

Padahal, system ekonomi politik yang berlaku di negara kita, yang bertanggung jawab atas hajat hidup orang banyak, yang mengatas-namakan dirinya "dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat" tidak pernah mendukung kita untuk tumbuh menjadi subjek yang sukses dalam menggapai mimpi-mimpi. Ini adalah sebentuk hegemoni dan pengalihan tanggung jawab dari negara kepada individu. Mereka ingin mengatakan bahwa jika seseorang miskin itu bukanlah kesalahan negara melainkan dosa dari individu terkait akibat kebodohan, kepongahan dan kemalasannya dalam mengejar kesuksesan. Sadis men...

Padahal hajat hidup masyarakat sangat ditentukan oleh kebijakan politik yang dikeluarkan negara. Saya curiga, ini adalah sebuah upaya menegasikan kontradiksi dari negara kepada individu masyarakatnya. Jawaban tersebut muncul bukan karena saya mengalami virus split personality. Jawaban tersebut muncul karena saya adalah orang yang percaya bahwa perubahan sekecil apapun yang terjadi pada individu sangat erat keterkaitannya dengan system ekonomi politik yang berlaku pada suatu negara yang didiami oleh individu tersebut. 

Konflik politik Aceh selama puluhan tahun misalnya, adalah contoh dimana kebijakan politik negara menghambat perkembangan ekonomi, politik dan budaya masyarakat Aceh secara umum dan individu-individu rakyat Aceh khususnya. Contoh lainnya adalah kebijakan pemerintah memangkas berbagai subsidi publik baik di sektor pendidikan, kesehatan dan lain-lainnya telah berimplikasi terhadap semakin sengsaranya rakyat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Harusnya negara bertanggung jawab terhadap kebutuhan hajat hidup rakyatnya. Negara bertanggung jawab untuk menjamin bahwa rakyatnya hidup adil dan sejahtera.

Pertanyaannya kemudian, kenapa saya bisa sampai pada kesimpulan tersebut? Kita hidup di era demokrasi liberal kapitalistik, dimana prinsip persaingan bebas adalah sebuah keharusan. Untuk bertahan kita harus bersaing dan dalam persaingan mengharuskan ada yang kalah dan menang. Nah rumitnya lagi adalah, kita hidup tidak di dunia yang steril, polos dan adil, selalu saja ada yang kaya dan yang miskin, yang kuat dan yang lemah, kelas atas dan kelas bawah. Ketika yang miskin berada dalam langgam yang sama, dalam arena persaingan yang sama dengan yang kaya yang terjadi adalah pertarungan yang tidak seimbang. Inilah kekurangan demokrasi formal yang berlaku saat ini.

Ada satu contoh menarik yang ingin saya paparkan disini, contoh ini saya kutip dari diskusi Dialog Keudee Kupi yang sering diselenggarakan oleh SEFA, pada satu kesempatan kebetulan pembicaranya adalah Fadjroel Rahman (Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan/ Pedoman). intinya dia mengatakan seperti ini, bahwa kekayaan yang berhasil diakumulasi oleh 20% orang terkaya di dunia (seperti Bill Gates, George Soros dll) yang semakin meningkat dari tahun ke tahun mempunyai korelasi yang erat dengan kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar penghuni bumi yang lain baik di Asia, Afrika dan di negara-negara Amerika Latin. Semakin banyak akumulasi modal yang berhasil dilakukan maka semakin banyak kemiskinan yang terjadi. 

Maka untuk sukses, kita harus berjudi dan bertaruh. Untuk sukses kita harus mengorbankan orang lain baik langsung maupun tidak langsung, ingat slogan terkenal itu! "no free lunch". Inilah neraka KAPITALISME!! Hukum rimba berlaku disini. Logika demikian mengantarkan saya pada kesimpulan bahwa yang terutama mendesak untuk berubah (dirubah) bukan individu-individu melainkan negara, sebuah revolusi bagi negara!!. Merubah negara dari yang awalnya berideologi kapitalisme menjadi sebuah negara yang menerapkan demokrasi kerakyatan. Artinya negara harus menyediakan terlebih dahulu basis yang jelas berupa system ekonomi politik yang adil lalu menjamin semua orang untuk bisa mendapatkan akses pada kesejahteraan.

Bahwa perubahan adalah kerja social. Bukan kerja individu atau perseorangan. Dan arah gerak dinamika sejarah bukan ditentukan oleh tokoh-tokoh melainkan ditentukan oleh kontradiksi social dan pertentangan kelas-kelas sosial pada setiap fase sejarah.

0 komentar:

Posting Komentar