Wujudkan Demokratisasi Kampus!!

Kamis, 13 Oktober 2011

(Sebuah Tulisan Yang Ketinggalan Isu)
Oleh: Dedy


Kebijakan pihak rectorat Universitas Muhammadyah Aceh untuk menyerahkan keamanan kampus kepada aparat kepolisian harus dilihat sebagai sebuah bentuk pembungkaman terhadap demokratisasi kampus. Idealnya, kampus adalah arena pergulatan ide atau wacana, harus steril dari segala bentuk intervensi unsur-unsur militer, agar dunia kampus benar-benar bisa menjadi lingkungan ilmiah yang bebas dari segala kepentingan. Oleh karena itu, tidak boleh ada ambiguitas, paradoksal dan ketidak-konsistenan di kampus antara apa yang dikonstruksikan secara normative dengan praktek dilapangan. Namun ironisnya, kampus seringkali menampakkan wajahnya yang ambigu, kontradiktif dan paradoks. Di satu sisi, kampus dilandaskan pada satu visi untuk membangun masyarakat yang demokratis, namun terkadang pada prakteknya justeru bertindak otoriter dan anti-demokrasi dengan tidak memberikan ruang bagi tumbuhnya subyek yang kritis, toleransi dan multi-kulturisme.

Sikap reaksioner pihak rektorat dengan mengundang aparat kepolisian ke dalam kampus sekali lagi menunjukkan sikap anti-demokrasi dan watak otoriternya pihak birokrasi kampus. Banyak kebijakan-kebijakan yang bersangkut-paut langsung dengan mahasiswa oleh pihak rektorat diambil secara sepihak tanpa mempertimbangkan untuk berkonsultasi dengan para mahasiswa, diantaranya adalah kebijakan menaikkan SPP baik untuk mahasiswa baru maupun mahasiswa lama. Kebijakan untuk menaikkan SPP ini sangat memukul perekonomian mahasiswa yang sebagian besar berasal dari kelas menengah ke bawah. Maka kita tidak bisa menyalahkan apabila muncul tudingan-tudingan sinis atas kebijakan ini: Kenaikan SPP ini sama saja dengan mengkomersilkan pendidikan.

Banyak kebijakan-kebijakan pihak rektorat yang tidak populis, bahkan sangat merugikan pihak mahasiswa, oleh karena itu kita pantas menduga bahwa melibatkan aparat kepolisian kedalam lingkungan kampus sebagai bentuk ketakutan pihak rector akan munculnya gerakan-gerakan protes oleh para mahasiswa. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk mengundang aparat kepolisian untuk memproteksi diri dari aksi protes mahasiswa.

Kampus punya slogan “mencerdaskan anak bangsa”, tapi pada prakteknya hanya untuk anak bangsa yang punya modal dan capital. Kampus punya visi untuk menjunjung tinggi persamaan derajat dan anti-diskriminasi, tapi pada praktekya tidak mengakomodasi kelompok minoritas. Utamanya kaum difabel. Kampus terlanjur dipersepsikan sebagai media belajar bagi semua, tapi dalam prakteknya hanya mengakomodasi anak yang pintar, pandai dan cerdas dan mengeksklusi mereka yang punya keterbatasan intelektual. Jika ada gerakan protes dari mahasiswa, maka aparat represif dilibatkan untuk membungkam gerakan protes tersebut dengan dalih menjaga stabilitas keamanan.

Jika dilihat dalam lingkup yang lebih luas, sebenarnya pola seperti ini bukanlah model baru dalam rangka mengontrol dan membatasi gerakan politik mahasiswa agar tidak berkembang. Pola seperti ini sudah pernah diterapkan pada masa rezim Orde Baru berkuasa. Orde Baru menggunakan unsur-unsur militer untuk mengintervensi kampus dengan dalih untuk stabilitas keamanan.
Penguasa mencoba untuk mengarahkan para mahasiswa menjadi “mahasiswa baik-baik”. Mahasiswa dikonstruksikan pola pikirnya melalui berbagai kebijakan kampus agar hanya memikirkan bagaimana menyelesaikan studynya saja, mahasiswa harus menjadi “anak imut” yang penurut dan patuh.

Keinginan penguasa untuk menciptakan mahasiswa-mahasiswa yang apolitis dan apatis dengan segala ketimpangan social ini, di sadari atau tidak sebenarnya adalah demi kepentingan ekonomi pasar. Pasar melalui kaki tangannya yaitu pemerintah, menghendaki terciptanya stabilitas politik agar proses akumulasi kapitalnya tetap berjalan aman. Walaupun proses akumulasi tersebut dengan cara menindas, tidak boleh ada yang protes. Intelektual-intelektual kampus yang sejatinya harus menjadi agen pendobrak (agen of change) bagi kakusutan dan ketimpangan realitas social, dengan memperjuangkan nasib rakyat, tapi di konstruksikan menjadi tenaga-tenaga kerja murah yang akan dilempar ke pasar tenaga kerja untuk kemudian bekerja (baca; membudak) demi proses akumulasi modal bagi bos-bos kapitalis. Proses pembelajaran pun ditekankan pada upaya untuk mengakumulasi dan memiliki ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk mengejar profit. Jadi tidak heran ketika banyak banyak mahasiswa-mahasiswa saat ini yang apatis terhadap kondisi rakyat. Dan kalaupun ada satu-dua yang peka, peduli dan kritis, mereka terancam di Drop Out karena tidak bisa cepat menyelesaikan study-nya alias sibuk berorganisasi. Kapitalisme dengan segala macam cara mencoba mendegradasikan fakultas kritis yang ada di setiap individu. Inilah apa yang disebut dengan hegemoni kapitalisme. Pasar mencoba menggantung mimpi-mimpi pada umat manusia agar bersikap individualis serta tidak peka social. Dan apabila hegemoni tidak mempan, maka mereka menggunakan aparat represif untuk menekan setiap gerakan protes.

Nah, keinginan pihak rector untuk mengundang aparat kepolisian ke dalam lingkungan kampus harus dicurigai sebagai bentuk usaha untuk membungkam sikap kritis mahasiswa.

Oleh karena itu kebijakan untuk melibatkan aparat kepolisian dengan dalih menjaga keamanan kampus harus dikritisi oleh para mahasiswa sebagai sebuah kemunduran. Jika tidak keterlibatkan militer/polisi dalam lingkungan kampus dengan dalih apapun, mau tidak mau akan mematikan pemikiran kritis mahasiswa. Kita tentunya tidak mau melihat budaya Orde Baru dipraktekkan di kampus kita. Dan pertanyaannya, apakah kita peduli dengan kondisi ini???
***

0 komentar:

Posting Komentar